Ahh Pengen Menikaaaah

M Ikhsan
4 min readMar 8, 2024

Saya pernah bermimpi, ketika pulang kantor langsung disambut oleh anak-anak kecil lucu yang tidak sabar menunggu kedatangan ayahnya. Langsung mengajak main, atau berbicara segala macam.

Saya pernah bermimpi, ketika malam sebelum tidur, saya mendengar cerita istri. Mulai dari cerita rekan kerjanya yang menyebalkan, hingga menceritakan perkembangan anak yang membanggakan.

Saya juga pernah bermimpi, ketika hari raya Idulfitri tiba, kami sekeluarga menggunakan pakaian seragam, berfoto bersama di ruang tamu, tepat sebelum berkunjung ke rumah-rumah keluarga besar.

ilustrasi cincin nikah. sumber: Freepik

Sebagai orang yang dibesarkan, dan dididik dengan nilai-nilai tradisional dan juga nilai keagamaan, tentu menikah, berumahtangga, dan berkeluarga adalah salah satu tujuan, atau bisa dibilang sebagai suatu keharusan.

Berusia akhir 20an, yang dimana tekanan sosial dari keluarga, lingkar pertemanan, dan sebagainya sudah sangat masif. “Kapan menikah?” bukan lagi menjadi pertanyaan, tapi sudah menjadi tugas, sama seperti ketika bos menanyakan “kapan proyeknya bisa dieksekusi?” atau “deadline-nya sebelum makan siang ya, bisa kan?”

Angka pernikahan di indonesia sendiri sedang turun, berdasarkan data dari bersumber dari Kata Data, Badan Pusat Statistik (BPS), pada 2023, jumlah pernikahan yang berlangsung di Indonesia hanya 1,58 juta, sementara pada 2022 jumlah pernikahan sebanyak 1,71 juta. Angka ini sangat kecil, apalagi mengingat bahwa pada 2013 jumlah pernikahan di Indonesia mencapai 2,21 juta.

Jumlah pernikahan di Indonesia selama 10 tahun terakhir. Sumber: Kata Data

Disisi lain angka perceraian juga turun pada tahun 2023, dimana pada 2023 perceraian terjadi sebanyak 463.654. Sedangkan pada 2022 terjadi perceraian sebanyak 516.334. Walau disisi lain ini bukanlah hal yang baik, sebab angka perceraian masih tinggi, dibanding tahun-tahun sebelum pandemi.

Jumlah perceraian di Indonesia selama 5 tahun terakhir. Sumber: Kata Data

Rasanya bukan hanya di Indonesia saja hal ini terjadi. Lantas apa yang menyebabkan angka pernikahan makin menurun di era modern ini? Kenapa banyak orang yang menunda untuk menikah?

Dari artikel Influential Factors on Delay Marriage in Tehran,yang ditulis oleh Mahsa Saadati, dan Arezoo Bagheri, disimpulkan bahwa status pekerjaan dan pengeluaran rumah tangga merupakan dua hal yang berpengaruh, faktor-faktor tersebutlah yang menyebabkan tertundanya pernikahan; oleh karena itu diharapkan pemerintah dapat mengurangi penundaan pernikahan ini dengan menyediakan akses remaja untuk bekerja dan mendapatkan penghasilan yang layak.

Tapi, itu kan di Iran, bagaimana fenomena di negara lainnya? Di Uni Emirat Arab sendiri sebenarnya tidak jauh berbeda. Pada jurnal akademik yang ditulis oleh Mastur H. Rehim, Khawlah M. Al-Tkhayneh, dan Tamim A Jabarah yang berjudul “The Causes of Delayed Marriage among Young Men: An Analytical Descriptive Study of a Sample of Al Ain University Students,” disimpulkan bahwa mahar yang tinggi menjadi faktor utama terjadinya penundaan pernikahan, selain itu perihal pekerjaan juga menjadi salah satu faktor dari adanya penundaan pernikahan, padahal di sisi lain pemerintah Uni Emirat Arab juga menjamin kesejahteraan warganya.

Saya sengaja mengambil contoh kasus dari negara Iran, dan Uni Emirat Arab, sebab rasanya kedua negara tersebut memiliki kondisi masyarakat yang sama dengan Indonesia, yang dimana nilai-nilai tradisional, dan kepercayaan akan agama masih kuat di kalangan masyarakat. Berbeda dengan Jepang, atau Korea Selatan, yang kondisi sosialnya cukup banyak beda dengan Indonesia.

Apapun itu, untuk memahami kondisi tertundanya masa menikah bukanlah hal yang rumit. Masalah ekonomi, mulai dari naiknya harga kebutuhan pokok, besarnya biaya sewa rumah, gaji yang kecil, masa depan yang tidak jelas, adalah faktor-faktor utama dari tertundanya waktu pernikahan ini. Rasanya tidak perlulah menjadi profesor ekonomi untuk memahami situasi tersebut.

Belum lagi jika berbicara tentang kondisi warga yang tinggal di kota-kota besar, misal di Jakarta. Warga Jakarta, atau orang yang bekerja di Jakarta bisa menghabiskan waktu 3 jam perjalanan pulang pergi untuk bekerja. Banyak pula orang yang harus mengarungi jalan raya 60 km lebih dalam sehari untuk pulang pergi dalam bekerja.

Sistem perumahan yang mengerikan di Jakarta ini membuat warga kelas menengah harus tersisih ke daerah penyangga. Kerja di Sudirman rumah di Cileungsi, Kerja di TB Simatupang rumah di Cisauk, atau kerja di Gambir rumah di Tambun, adalah hal yang mudah saja ditemui.

Perjalanan yang dirasakan tentu bukan perjalanan piknik menyenangkan dengan pemandangan gunung, dan sawah. Entah harus berdiri berdesakan berjam-jam di angkutan umum, atau harus rela bermacet-macet ria di jalan. Baik pengguna angkutan umum, atau pengguna angkutan pribadi semuanya capek.

Tidak ada kesimpulan yang bisa diambil dari tulisan ini. Tidak perlu memusingkan pilihan orang yang menikah segera, atau menundanya, sebab tidak ada yang tahu bagaimana sulitnya hidup orang tersebut. Bagaimanapun juga Tuhan tidak memberi cobaan diluar batas kemampuan umatnya.

--

--