Arafat Nur Penulis Novel Yang Banyak Bercerita Tentang Konflik Aceh

M Ikhsan
4 min readMay 28, 2020

--

sumber gambar wikipedia

Salah satu buku yang saya sering baca akhir-akhir ini adalah buku dari pengarang bernama Arafat Nur. Saya lupa akan alasan pasti mengapa saya membaca buku Arafat Nur, mungkin karena saat itu novel-novelnya memiliki kover dengan desain yang eye catching. Ya, saya terbiasa menilai sebuah buku dari tampilan kover, tapi saya tidak menyesal setelah membaca novel Arafat Nur. Bahkan saya ketagihan akan karya novel-novel beliau.

Lantas siapakah Arafat Nur? Awalnya saya sendiri sebenarnya tidak tahu menahu akan karir kepenulisan Arafat Nur. Mungkin ini terjadi lantaran saya bukan pengamat dunia sastra Indonesia. Tapi saat saya bertanya ke beberapa teman yang terlihat lebih “sastra” mereka juga tidak mengetahui siapa itu Arafat Nur.

Sayang sekali, padahal menurut saya Arafat Nur adalah salah satu penulis yang bisa menggambarkan konflik yang terjadi di Aceh dengan gaya menulisnya yang seru, lucu, dan juga membuat geram.

Karena tinggal di Aceh pada saat peperangan, Arafat Nur sudah mengerti akan ngerinya perang. Bahkan karena disangka mata-mata, Arafat Nur pernah diculik. Rumahnya pun pernah dibakar. Bisa dibilang Arafat Nur adalah salah satu suara dari warga sipil Aceh. Untuk profil lengkap Arafat Nur, kalian semua bisa mencarinya di google. Disana kalian akan bisa mengetahui novel apa saja yang ditulisnya, dan penghargaan apa saja yang pernah ia dapatkan.

Karena Arafat Nur cukup rajin dalam menulis novel yang saya rasa bagus, dan perlu untuk dibaca. Maka saya akan menceritakan secuil kisah dari tiga novel yang saya rasa penting tersebut, terutama untuk yang penasaran dan berkeinginan untuk sedikit mengetahui akan konflik di Aceh.

  1. Lampuki
sumber gambar goodreads

Ini adalah novel dari Arafat Nur yang pertama kali saya baca. Cerita dari novel Lampuki ini sebenarnya sederhana, hanya berupa keseharian penghuni kampung disalah satu daerah Aceh yang bernama Lampuki.

Novel ini memiliki narator tunggal bernama Teungku Muhammad, pada kesehariannya Teungku Muhammad adalah guru ngaji yang mengajarkan ilmu agama pada anak-anak kampung. Kelebihan novel Lampuki adalah dapat menceritakan berbagai penghuni kampung yang memiliki perangai unik (cenderung menyimpang).

Ada karakter Ahmadi, yang merupakan tentara gerilya GAM (Gerakan Aceh Merdeka), yang sering masuk kampung Lampuki untuk bertemu istri. Ahmadi juga sering berpidato panjang lebar agar para penghuni kampung Lampuki mengikuti jejaknya. Ada pula perangai unik dari murid-murid Teungku Muhammad, istri Ahmadi, penjual ganja, dan yang tak kalah penting adalah bagaimana gambaran akan tingkah laku aparat saat berada di kampung Lampuki.

Novel Lampuki juga memiliki kritik keras dan sumpah serapah yang indah, jujur saya sendiri saat membacanya bingung, apakah Arafat Nur tidak takut akan kejadian yang akan datang setelah menulis novel ini?

2. Tanah Surga Merah

sumber gambar goodreads

Novel Tanah Surga Merah bercerita tentang mantan pejuang GAM yang bernama Murad. Latar waktu dalam novel Tanah Surga Merah adalah setelah perjanjian damai antara Indonesia dengan Gam, yang berarti setelah tahun 2005.

Novel ini menceritakan apa yang terjadi setelah konflik usai, saat itu Murad yang sangat idealis tidak terima saat rekan seperjuangannya di GAM malah menjadi orang yang menyengsarakan rakyat Aceh sendiri. Akhirnya Murad menembak salah satu kawannya yang sudah memiliki jabatan, dan Murad menjadi seorang pelarian.

Ibaratnya gini, dulu bergrilya dengan alasan agar dapat membebaskan rakyat Aceh dari kesusahan, eh setelah mereka dapat jabatan dipemerintahan malah jadi orang yang menyusahkan rakyat Aceh sendiri. Maka, sudah jelas kritik pada novel ini tertuju pada partai-partai lokal dan pejabat Aceh saat itu.

3. Kawi Matin di Negeri Anjing

sumber gambar: facebook Kedai Jual Buku Sastra (JBS)

Kawi Matin di Negeri Anjing adalah novel baru, bercerita tentang Kawi Matin. Awalnya dia adalah anak baik-baik, tapi setelah sering begitu sering dizalimi aparat, akhirnya ia memutuskan untuk menjadi pemberontak saja sekalian.

Dari novel ini pembaca akan mendapatkan sedikit gambaran bagaimana aparat memperlakukan warga sipil Aceh. Saking jahatnya, apa yang mereka lakukan terhadap warga sipil itu bisa membuat emosi para pembaca terbakar.

Setelah GAM dan Indonesia berdamai, ternyata Kawi Matin malah dizalimi mantan pejuang GAM lainnya, bantuan uang yang dijanjikan kepada mantan pejuang GAM malah tidak diberikan. Akhirnya gimana? Silahkan baca sendiri.

Karena Arafat Nur menggunakan sudut pandang warga sipil, maka dengan membaca ketiga novel diatas setidaknya akan membangkitkan empati akan penderitaan menjadi warga sipil saat berada ditengah peperangan.

Warga sipil yang cinta damai, tidak peduli akan perang, hanya ingin hidup, eh malah jadi sasaran kekerasan para aparat. Warga sipil seringkali dituduh sebagai mata-mata, atau dituduh sebagai pendukung permberontak.

Novel-novel Arafat Nur saya rasa juga bukan untuk menggelorifikasi daerah Aceh, bahkan Arafat Nur mengkritik segala hal yang ada, mulai dari pemberontak, aparat, pejabat lokal, semua dan semaunya ia kritik.

Harus diingat, ini adalah novel-novel fiksi, kalau ingin benar-benar mengetahui tentang konflik Aceh, maka silahkan mencari literatur lanjutan lainnya. Novel-novel ini hanyalah sebagai pintu masuk saja.

Apalagi mengingat GAM dan Indonesia baru berdamai pada tahun 2005, yang dimana ini bukanlah bagian sejarah yang sudah terlampau begitu lama. Tapi berapa banyak diantara kita yang tahu akan betapa mengerikannya perang yang terjadi disana.

Kalau pembaca ingin membaca novel-novel Arafat Nur, maka bisa menggunakan aplikasi Ipusnas yang gratis dan legal, atau bisa juga berlangganan menggunakan Gramedia Digital. Jangan baca bajakan!

--

--

M Ikhsan
M Ikhsan

Written by M Ikhsan

Tempat belajar berargumen serta menyampaikan pendapat. Yuk ngobrol dengan saya melalui LinkedIn atau Instagram @ikhsanfirdauss

No responses yet