Jakarta dan Macet

M Ikhsan
3 min readApr 1, 2024

Saat menunggu bus di salah satu Terminal di wilayah Jakarta, secara enggak sengaja saya masuk ke dalam obrolan warkop. Awal mulanya sederhana, ketika saya sedang menikmati kopi panas di warkop dekat terminal, tiba-tiba ada orang asing duduk dekat saya. Pertanyaan sederhana mulai dari “mau kemana,” tanpa disadari berubah menjadi perbincangan politik. Perbincangan ini juga diikuti oleh pemilik warkop, yang sepertinya kenal baik dengan orang tersebut. Saya maklum, sebab memang lagi musim politik saja.

Saya yang tidak antusias dengan perbincangan tersebut, tiba-tiba menaruh minat ketika salah satu dari mereka kurang lebih berkata “jangan pilih calon itu, karena gara-gara trotoar yang dibuat beliau, Jakarta jadi macet.”

Ilustrasi Jakarta Macet: Sumber: Freepik

Banyak sebenarnya alasan untuk tidak memilih calon itu, tapi ketika menjadikan alasan tidak memilih karena adanya trotoar yang membuat macet, alasan tersebut agak dipaksakan, sama seperti menambahkan keju ke mie rebus.

Begini saja, sebelum ada trotoar sendiri Jakarta sudah macet, pun trotoar yang dibangun hanya pada kawasan tertentu, alias belum merata. Lha terus masa yang dibilang penyebab macet malah trotoar. Padahal kalau berbicara terkait kemacetan bisa saja membicarakan jumlah kendaraan yang sudah terlalu banyak, transportasi umum yang belum maksimal, parkir liar, dan lingkungan hunian yang jauh dari perkantoran.

Berbicara tentang kemacetan, entah mengapa “macet” selalu dijadikan alasan untuk memaklumi keterlambatan. Telat masuk kelas, alasan ke dosen kejebak macet, atau ketika telat jemput, alasan ke pacar kejebak macet. Padahal sebagai orang Jakarta, kita seharusnya tahu bahwa kota ini ya memang selalu macet. Memang ada saatnya ketika Jakarta tidak macet, seperti saat hari raya Idul Fitri.

Hal yang terjadi di Jakarta ini juga terjadi di Senayan. Proses legislasi di gedung beratap hijau tersebut juga seringkali terjadi kemacetan, tapi ada masa-masa tertentu ketika legislasinya berjalan lancar, bahkan ngebut, seperti proses legislasi UU KPK, UU Cipta Kerja, dan UU IKN.

Hal seperti ini tentu saja berhubungan dengan prioritas. Para tulang punggung yang juga pedagang di pasar, mereka tidak akan pernah telat untuk sampai pasar, sebab prioritas mereka adalah menghidupi keluarganya di rumah. Pun, pasar tersebut kebakar, atau kebanjiran, maka pedagang tersebut akan tetap berdagang, entah dimana pun itu.

Perihal trotoar di atas, ya itu juga merupakan bagian dari prioritas. Jika selama ini pengendara mobil saja yang diberikan fasilitas mumpuni, sekarang trotoar adalah bukti keberpihakan pada pejalan kaki.

Hirarki prioritas. Sumber: Waka Kotahi NZ Transport Agency

Dalam teori desain tata kota, pejalan kaki lah yang sebenarnya yang paling harus diprioritaskan, yang kedua yang harus diprioritaskan adalah pesepeda, atau angkutan umum, yang ketiga kendaraan yang berhubungan dengan jasa, atau pelayanan publik, dan paling terakhir adalah kendaraan pribadi.

Bahkan sesuai teori, jembatan penyeberangan itu sendiri bukanlah dibuat untuk para pejalan, tapi fasilitas ini dibuat untuk para pengguna kendaraan pribadi biar bisa terus berjalan. Dalam hal ini pejalan kaki ngalah dengan mobil, dan motor.

--

--