Kekhawatiran Hilangnya ‘Trias Politica’ adalah Kewajaran
Pertemuan yang seharusnya tidak terjadi
Berita politik di negari ini selalu ramai, selain dengan berita berbagai demonstrasi ‘Indonesia Gelap’ di berbagai daerah. Selain itu, terdapat sebuah pertemuan ganjil yang perlu diperhatikan lebih lanjut, pertemuan berkumpulnya lebih dari 150 hakim dari seluruh Indonesia di Kompleks Istana Kepresidenan pada Kamis (20/2/2025).
Entahlah apa tujuan asli dari diadakannya pertemuan ini, tetapi yang menjadi kekhawatiran adalah bahwa kekuasaan eksekutif dan yudikatif seharusnya tidak pernah bersatu, selalu terpisah.
Pembagian kekuasaan (trias politica)
Seorang pemikir dari Prancis, Montesquieu, memperkenalkan ide berupa konsep pemisahan kekuasaan di suatu negara. Konsep ini membagi kekuasaan menjadi tiga untuk memastikan adanya mekanisme checks and balances di antara para pemangku kekuasaan, konsep ini biasa disebut trias politica.
Meskipun pembagian kekuasaan menjadi tiga lembaga (trias politica) tidak secara eksplisit disebutkan dalam undang-undang dasar Indonesia, konsep ini tetap dapat ditemukan dalam sistem demokrasi konstitusional yang dianut oleh Indonesia. Hal ini tercermin dalam berbagai Bab dalam Undang-Undang Dasar 1945, seperti:
- Bab II tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat
- Bab III mengenai Kekuasaan Pemerintah Negara
- Bab VII tentang Dewan Perwakilan Rakyat
- Bab IX tentang Kekuasaan Kehakiman (Budiardjo, 2008: 287–288).
Dalam praktiknya, lembaga yudikatif adalah lembaga hukum, bukan lembaga perpolitikan. Pasca reformasi, lembaga yudikatif di Indonesia telah mengalami berbagai perubahan. Amandemen ketiga UUD 1945 yang disahkan pada 10 November 2001 menyebutkan bahwa penyelenggara kekuasaan kehakiman terdiri atas Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Agung bertugas menguji peraturan perundangan di bawah UU terhadap UU, sedangkan Mahkamah Konstitusi mempunyai kewenangan menguji UU terhadap UUD 1945 (Budiardjo, 2008: 360).
Checks and balances
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, pembagian kekuasaan bertujuan untuk menciptakan checks and balances dan menghindari kekuasaan mutlak di tangan Presiden. Oleh karena itu, pertemuan Presiden dengan para hakim menimbulkan kekhawatiran yang wajar dari publik.
Selain itu, melempemnya fungsi legislatif (dalam hal ini Dewan Perwakilan Rakyat) dalam menyaring aspirasi rakyat juga menjadi kekhawatiran berat. Kita lihat dari tahun 2019 hingga 2024, berbagai undang-undang yang membuat pusing muncul secara misterius, dan tidak jelas siapa yang paling diuntungkan dari munculnya undang-undang tersebut.
Berdasarkan riset dari CNBC Indonesia, ada tujuh undang-undang membagongkan hadir pada 2019–2024, beberapa di antaranya menyebabkan demonstrasi besar-besaran, seperti UU KPK, UU Minerba, dan UU Cipta Kerja. Ada juga UU IKN, yang tidak jelas untuk kepentingan siapa. Tuh lihat bagaimana kondisi IKN sekarang.
Untung saja kita masih memiliki mahasiswa serta kelompok masyarakat sipil yang turun ke jalan untuk melakukan aksi ‘Indonesia Gelap,’ yang tuntutannya tidak hanya ditujukan kepada pemerintah eksekutif, tetapi juga menyasar DPR (legislatif). Tuntutannya meliputi: pengesahan RUU Masyarakat Adat, pengesahan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga, penolakan terhadap revisi UU TNI, penolakan terhadap revisi UU POLRI, dan beberapa revisi undang-undang lainnya yang merugikan
Situasi ini bisa menjadi lebih buruk jika ide koalisi permanen KIM Plus benar-benar terjadi. Menurut Kompas.id, di tingkat pusat, Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus memiliki 470 kursi dari total 580 kursi DPR, atau sebesar 81%. Sebagai oposisi, di luar koalisi raksasa ini, hanya ada satu partai, yaitu PDI Perjuangan, yang merupakan pemenang Pemilu Legislatif 2024 dan menguasai 110 kursi atau 19% kursi DPR. KIM Plus juga memenangkan kontestasi pilkada pada 27 November 2024. Dari total 37 provinsi yang menyelenggarakan pilkada, calon-calon kepala daerah dari KIM Plus menang di 25 provinsi (67,6%). Jika hanya menghitung partai-partai dalam KIM saja, penguasaan ada di 20 provinsi atau 54,1%.
Jika semuanya berkoalisi, jadi, apa gunanya memilih partai politik serta calon legislatifnya, jika mereka pada akhirnya sama saja?
Menutup artikel ini, saya teringat penggalan kata menarik, yang saya lupa pernah disebutkan oleh siapa, kurang lebih berbunyi “Lebih baik melihat para politisi bertengkar, dibandingkan diam, sebab diamnya mereka pasti ada persengkongkolan jahat.”
Referensi:
Budiardjo, M. 2008. Dasar-dasar Ilmu Politik (Edisi Revisi): 287–288. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Budiardjo, M. 2008. Dasar-dasar Ilmu Politik (Edisi Revisi): 360. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Revo M. 2024, October 1. Menolak Lupa, Inilah 7 UU Kontroversial Warisan DPR Periode 2019–2024. CNBC Indonesia. cnbcindonesia.com. https://www.cnbcindonesia.com/research/20241001112734-128-575956/menolak-lupa-inilah-7-uu-kontroversial-warisan-dpr-periode-2019-2024.
M Toto Suryaningtyas. 2025, February 20. Demokrasi Indonesia dalam Dominasi KIM Plus. Kompas.id. PT Kompas Media Nusantara. https://www.kompas.id/artikel/demokrasi-indonesia-dalam-dominasi-kim-plus.