Lampuki: Karya Penting Arafat Nur

M Ikhsan
3 min readApr 18, 2020

--

Kover Lampuki

Judul: Lampuki
Penulis: Arafat Nur
Penyunting: Raya Fitrah
Penyelaras Aksara: Arasy Nurjatmika, Karin Rusli
Perancang Sampul: Orkha Creative
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Tahun terbit: 2019
Jumlah Halaman: 344 Halaman
ISBN: 978602631882
ISBN DIGITAL: 9786020631899

Aceh dan Indonesia keduanya memiliki masa lalu yang buruk, pada tahun 1976 Hasan di Tiro menginisiasi Gerakan Aceh Merdeka yang terus berperang dengan Indonesia sampai 2004. Korban berguguran dari milisi Gerakan Aceh Merdeka dan Tentara Indonesia.

Melalui bukunya Lampuki, Arafat Nur bercerita kengerian-kengerian yang terjadi pada suatu kampung yang bernama Lampuki. Pada tahun 2010 Lampuki menjadi Pemenang Unggulan Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta. Pada 2011 Lampuki berhasil meraih Khatulistiwa Literary Award (sekarang disebut: Kusala Sastra Khatulistiwa). Buku ini telah diterbitkan kembali oleh Gramedia Pustaka Utama pada tahun 2019.

Apa yang diceritakan oleh Arafat Nur dalam novel ini sederhana, yaitu berupa keseharian warga kampung Lampuki saat dalam gejolak aceh pada masa senja orde baru. Walau sang penulis berasal dari Aceh dan menceritakan tentang Aceh, tapi penulis bisa memberikan porsi yang adil untuk berkata lantang terhadap tanah kelahirannya.

Buku ini hanya memiliki satu sudut pandang sekaligus narator dari Teungku Muhammad, beliau adalah orang yang dihormati di Lampuki, beliau seorang kuli bangunan sekaligus guru ngaji untuk anak-anak di Lampuki. Teungku Muhammad sangat mengenal para penduduk dan kebiasaan dari warga kampung Lampuki, disatu sisi Teungku Muhammad sangat membenci warga Lampuki dan satu sisi lainnya Teungku Muhammad begitu mengasihi warga Lampuki.

Warga Lampuki digambarkan sebagai warga yang memiliki perangai menyimpang. Pada halaman 10 dikatakan “barangkali memang sudah menjadi sebuah kutukan abadi,sebagaimana keangkuhan kaum-kaum yang pernah dibinasakan Tuhan, sebelum maupun sesudah kedatangan Nabi Muhammad, lebih kurang begital perangai penduduk Lampuki ini.”

Warga Lampuki yang paling menarik perhatian dari Teungku Muhammad adalah Ahmadi sang pemberontak yang disegani penduduk Lampuki, gemar dan pandai dalam berpidato, karena kumis Ahmadi sangat tebal maka teungku Muhammad menyebutnya dengan si kumis. Awal novel ini menceritakan bahwa Ahmadi sedang mencari pengikut baru yang akan membantunya untuk bergerilya kehutan berjuang bersama Ahmadi. Saat berada di kampung Lampuki Ahmadi seringkali memberikan pidato propaganda hasutan untuk bergabung dengannya, Ahmadi sering menceritakan keagungan dan kemulian kaum Aceh, tiada satupun bangsa yang pernah menjajah Aceh. Tidak lupa juga propaganda berupa penghianatan-penghianatan yang dialami bangsa Aceh. Teungku Muhammad memberikan sedikit rasa hormat kepada Ahmadi, hal ini dikarenakan Ahmadi tidak pernah menyerang para tentara di pos-pos jaga kampung Lampuki, ini membuat penduduk sipil Lampuki tidak pernah merasakan sakitnya siksa tentara.

Ahmadi memiliki istri bernama Halimah, ia telah terpengaruh angan-angan, dan mendukung perjuangan yang dilakukan oleh Ahmadi. Halimah menjadi pengutip pajak, ia biasa berkeliling kampung mendatangi rumah-rumah penduduk Lampuki untuk memungut pajak, uang hasil pajak tersebut akan digunakan untuk perjuangan Ahmadi dan kawan-kawan. Pada suatu hari datanglah Jibral kerumah Halimah, pemuda tampan di kampung Lampuki untuk menyetor pajak. Kegiatan apa yang dilakukan oleh Halimah istri pejuang kepada Jibral sungguh diluar dugaan. Halimah melakukan hal tersebut diduga karena Ahmadi terlalu lama tinggal di hutan, Halmiah merasa kesepian dan melampiaskan hasratnya kepada Jibral.

Perdagangan ganja menjadi suatu pemasukan dari para pejuang, diceritakan ganja adalah tumbuhan yang subur dan ranum di tanah Aceh. Kualitas ganja di Aceh dikabarkan melebihi ganja dari daerah lainnya. Karim pedagang ganja menjalin kerjasama dagang dengan oknum aparat, mereka membutuhkan penghasilan tambahan yang tidak mereka dapatkan dengan berkerja sebagai aparat. Pada halaman 134 Karim banyak mencertikan bagaimana cara para gerilya mendapatkan senjata-senjata seperti AK-47, AK-56, dan M-16, Karim bercerita bahwa selain dari merampas para tentara, Gerilya mendapatkan senjata dari pasar gelap.

Setelah kejatuhan orde baru para gerilya sempat mendapatkan sedikit harapan agar angan-angan mereka akan membuahkan hasil yang diinginkan. Pada kenyataannya tidak, perjuangan gerilya malah menjauh dari hasil yang mereka inginkan, kali ini kesengsaran datang kepada warga sipil, merekalah yang paling menderita, dipalak gerilya, dan disiksa tentara.

Arafat Nur berhasil menggambarkan ketakutan yang dialami oleh warga sipil di kampung Lampuki. Terkadang Arafat Nur menyampaikan ceritanya dengan cara lucu. Apapun itu Lampuki adalah novel yang adil dan sangat berani, melalui karakter Teungku Muhammad novel ini mengkritik dengan lugas tanpa tedeng aling-aling terhadap segala hal yang dia pikirkan.

--

--

M Ikhsan
M Ikhsan

Written by M Ikhsan

Tempat belajar berargumen serta menyampaikan pendapat. Yuk ngobrol dengan saya melalui LinkedIn atau Instagram @ikhsanfirdauss

No responses yet