Maju Mundur Lanjut Kuliah Karena Misteri yang Menakutkan

M Ikhsan
3 min readJun 16, 2023

Beruntung saya memiliki orang tua yang sangat peduli terhadap pendidikan anak-anaknya, mereka bekerja keras hingga saya dapat lulus kuliah.

Sumber: Freepik

Sedari Taman Kanak-kanak, hingga menjadi Sarjana, uang bukanlah tantangan saya dalam menempuh pendidikan, sebab itu adalah urusan orang tua, tugas saya saat itu seharusnya hanyalah belajar sebaik mungkin.

Kenyamanan akan masa depan yang terjamin seharusnya membuat saya lebih giat belajar, atau setidaknya bersyukur. Banyak orang di luar sana yang cukup pintar, tapi tidak dapat melanjutkan studi ke jenjang perkuliahan karena masalah finansial.

Tololnya, ketika bersekolah dahulu saya malah tidak terlalu serius menyimak pelajaran, kondisi nyaman tersebut malah membuat saya abai akan hal-hal lain, Baik di lingkup akademik atau bukan.

Sebenarnya kondisi akademik saya tidaklah buruk, indeks prestasi kumulatif (IPK) yang saya dapat cukup tinggi. Selain itu walau swasta, kampus saya juga sangat bagus untuk program studi Ilmu Komunikasi. Hanya saja kini saya yakin, seharusnya saya bisa lebih baik saat itu.

Waktu berlalu. Walau tidak mendapat pekerjaan impian, tapi setidaknya saya masih bisa bekerja, masih dapat mengamalkan keahlian saya kepada tempat saya kerja, masih ada kemampuan untuk mengumpulkan recehan.

Suatu waktu, mungkin karena lingkungan, atau apa, saya punya keinginan untuk melanjutkan studi, mengambil program Pascasarjana, di suatu kampus.

Disinilah baru saya sadar bahwa ternyata Mau sekolah itu susah juga, ya. Sekarang saya sedang menimbang mencoba mencari beasiswa, atau bayar sendiri.

Kalau ambil beasiswa, takutnya saya hanya bisa kuliah pada jam regular, yang tentu saja agak susah jika sambil bekerja, nah jika ambil kuliah kelas karyawan pada suatu kampus swasta biayanya ternyata cukup mahal.

Dari riset yang sudah saya lakukan setidaknya untuk mengambil kuliah program Pascasarjana setidaknya akan mengeluarkan uang hampir 40 juta, mulai dari biaya formulir pendaftaran, hingga wisuda. Tentu biaya segini cukup banyak untuk pekerja seperti saya yang gajinya mepet standar Jakarta.

Selain uang, salah satu kesulitannya adalah memilih program studi yang akan diambil. Apakah memilih prodi yang sesuai dengan gelar sarjana, atau mempelajari ilmu sosial lainnya.

Waktu kuliah tentu juga menjadi tantangan sendiri. Apakah bisa saya berkuliah setelah jam kerja, atau haruskah mengambil kelas sabtu saja. Terus bagaimana nanti kalau tiba-tiba ada tugas kantor yang dadakan, sampai-sampai harus meninggalkan kelas berkali-kali?

Ilustrasi. Sumber: Freepik

Ketakutan akan lemahnya komitmen juga menjadi kekhawatiran. Gimana kalau pada tahun depan, saya sudah tidak semangat lagi untuk berkuliah, sementara biaya sudah keluar begitu banyak?

Banyak lagi akan ketakutan-ketakutan akan misteri di masa depan. Seperti kontrak tidak diperpanjang, atau dapat tawaran menarik dari perusahaan lain hanya saja harus bekerja di luar Jakarta.

Ketakutan akan masa depan ini nampaknya bukan dirasakan oleh saya saja, sebab saya melihat banyak orang yang juga masih percaya akan ramalan. Meminta pendapat ke cenayang, untuk diramal, juga merupakan bukti bahwa ada kecemasan akan sesuatu di masa depan, kan?

Maju mundur saya, membuat saya berpikir, betapa hebatnya orang-orang yang bisa bekerja dan terus sekolah–di berbagai jenjang. Betapa hebatnya mereka mengatur waktu, membuat skala prioritas, pastinya banyak yang dikorbankan. Hebat betul mereka itu.

Pada akhirnya menuntut ilmu adalah keharusan dari setiap manusia, tidak mesti kuliah tinggi-tinggi, sebab dimana saja bisa. Hanya saja entahlah, semoga saya dan Anda para pembaca bisa senantiasa terus menuntut ilmu dimanapun.

--

--