Memikirkan Cara Atasan “Mengganggu” Bawahan saat Libur Panjang di Era Pra Instant Messaging
Untuk menjadi pribadi yang berotot, makan bergizi kaya protein, dan rendah lemak adalah resolusi saya pada 2024. Sama seperti resolusi Kamu, resolusi saya ini sudah pasti gagal terwujud, alias hanya omong kosong saja.
Jika diingat-ingat, setidaknya beberapa minggu di awal 2024, saya kerap kali menolak makan gorengan, saya makan lauk yang mengandung protein cukup banyak. Semisal jika ke warteg, biasanya saya hanya makan dengan lauk telur, maka di awal 2024, saya beberapa kali menambah dengan lauk lainnya seperti ikan, atau ayam.
Hal ini tidak dapat berlangsung lama, selain gorengan tahu isi adalah entitas yang tidak boleh disia-siakan, tentu saja alasannya karena uang. Menambah lauk dalam piring, sama saja dengan menambah pengeluaran untuk makan, sial pemasukan tidak bisa ditambah.
Selain pemasukan yang tidak bisa ditambah, hirarki dalam organisasi juga kerap kali menggagalkan resolusi.
Mei 2024, adalah bulan penuh kebahagiaan, menjadi bulan dengan banyak libur panjang (long weekend). Untuk menikmati libur panjang saya memutuskan untuk berolahraga, bertamasya, mengerjakan tugas kuliah, serta berkeinginan untuk menjadi pegawai keren yang menolak membalas pesan WA untuk urusan kantor.
Hirarki dalam organisasi, membuat saya gagal menjadi pegawai keren itu, mana bisa saya pura-pura abai akan pesan dari orang yang secara status di atas saya.
Dari banyak berkah hidup di zaman kecanggihan teknologi, dimana pertukaran informasi, dan komunikasi bisa secara instan, ini menjadi kesialan tersendiri. Mudahnya mengirim pesan melalui aplikasi perpesanan instan (instant messaging) jadi mengaburkan batas antara waktu kerja, dan waktu libur. Hal ini juga membuat sesuatu yang rasanya tidak terlalu penting menjadi sesuatu yang terasa mendesak.
Saat SMS masih menjadi sarana berkomunikasi, saya sangat selektif untuk mengirim pesan, sebab saat itu SMS harus bayar, juga karakter yang dapat dikirimkan sangat terbatas. Masih ingat betul dahulu bahkan ada provider yang memberikan biaya SMS setara 1 rupiah per karakter. Makanya ada bahasa SMS seperti; “dmn T4x,” “met tdr lov U.” Bahasa SMS ini muncul mungkin selain karena alay, juga karena keterbatasan karakter, dan keinginan untuk menghemat pulsa.
Karena keterbatasan ini, rasanya agak sulit bagi orang yang berada di hirarki yang lebih tinggi untuk secara acak mengirimkan pesan ke bawahan, apalagi ketika libur panjang, kalaupun ada maka sudah pasti pesan tersebut adalah penting, dan mendesak, bukan pekerjaan sepele yang bisa dilakukan nanti ketika sudah masuk kerja kembali.
Pun dengan telepon, biaya yang dibutuhkan luar biasa mahal. Masih berbayang ingatan dimana di rumah nenek dahulu pesawat teleponnya di gembok, dan kunci gembok tersebut hanya dipegang oleh nenek saya. Jadi jika ada yang menggunakan pesawat telepon harus dengan seizin Nenek.
Pada zaman itu membuat saya menjadi penasaran bagaimana para pasangan yang mabuk cinta menumpahkan kangennya yang luar biasa itu, jika telepon maka akan keluar uang yang tidak sedikit, tapi jika tidak telepon akan kangen betul. Ketika memutuskan untuk telepon pun juga tidak bisa lama-lama, rasa kangen tersebut harus ditumpahkan dengan waktu yang singkat. Tidak seperti sekarang, yang saking mudahnya orang berkomunikasi dengan WhatsApp Call, orang jadi berbincang dengan durasi yang lama, bahkan bisa sampai berjam-jam, entah konspirasi apa yang dibicarakan, mending bikin podcast aja tidak, sih?
Saya juga jadi penasaran ketika zaman pra internet, zaman dimana orang masih harus menggunakan SMS dan telepon, atau bahkan zaman sebelum itu, bagaimana orang yang berada di hirarki tinggi pada sebuah organisasi, tapi tidak memiliki kehidupan menyenangkan di lingkungan keluarga, dan pertemanan, bagaimana ya cara mereka mengganggu kehidupan menyenangkan bawahannya?