UFC 302 mempertemukan antara Makhachev vs. Poirier, pertarungan ini sangat sengit, kedua petarung harus terluka, selisih skor dari juri pun Makhachev hanya unggul sedikit, hingga di akhir ronde Makhachev berhasil memastikan kemenangan dengan teknik kuncian. Pertarungan ini membuat Makhachev berhasil mendapatkan bonus penghargaan sebagai Fight of the Night, dan Performance of the Night.
Pada pertarungan sebelumnya Makhachev telah mendapatkan banyak bonus, Makhachev telah mendapatkan lima bonus dari empat penampilannya, hal ini membuat Makhachev menjadi petarung harus ditonton karena sangat menghibur.
Secara karir Makhachev tidak sesempurna Khabib, Makhachev pernah mengalami kekalahan, selain itu pada beberapa pertarungan Makhachev belakangan ia tidak mendominasi total lawannya, setiap lawan yang dihadapi Makhachev selalu punya peluang untuk menang. Berbeda dengan Khabib yang dari awal karirnya di UFC selalu mendominasi lawan dengan sempurna. Terlepas dari bedanya gaya bertarung keduanya, “ketidaksempurnaan” dari Makhachev ini malah menjadikan Makhachev lebih seru untuk ditonton, sebagai penggemar berat dari kedua petarung ini, menonton Makhachev lebih memberikan ketegangan sendiri, setiap rondenya saya selalu berharap agar lawan dari Makhachev tidak mendaratkan pukulan dengan tepat.
Berbeda ketika menonton Khabib, seperti ada kepastian sendiri untuk pasti menang. Gaya bertarung Makhachev ini mematahkan stigma bahwa petarung Dagestan membosankan, sebab selama ini stigma bahwa petarung Dagestan hanya bisa gulat, sudah dipatahkan dengan serangan Makhachev.
Ketidaksempurnaan biasanya juga muncul dari kesalahan yang tidak disengaja, saya teringat mitos tentang brownies, awalnya kue manis tersebut ingin dibuat seperti kue basah, yang mana lembut dan juga mengembang, hanya saja ada satu kesalahan yang membuat kue tersebut malah menjadi bantet, dan kering, yaitu lupa memasukan baking powder. Karena tidak mengembang seperti kue basah yang seharusnya, brownies malah seperti biskuit (cookie), sedikit renyah. Walau begitu rasanya tetap enak, bahkan dari kesalahan tersebut brownies jadi salah satu hidangan populer di dunia saat ini.
Melalui sumber yang lebih terpercaya, cerita lainnya tentang brownies adalah ketika seseorang sosialita, juga filantropi Bertha Palmer yang juga pengelola sebuah hotel, ia memerintahkan para pastry chef yang bekerja untuknya untuk membuat makanan penutup yang dapat dibawa dengan mudah di kotak makan.
Di bawah tekanan akhirnya para pastry chef tersebut berhasil membuat kue yang sekarang disebut brownies, bersumber dari Forbes pada 2017 Palmer Hotel telah menyajikan hampir empat ton brownies.
Apapun sejarahnya, brownies sendiri adalah pengejawantahan dari ketidaksempurnaan, tapi enak, bahkan nagih. Secara kue brownies tidak bisa dibilang kue basah, juga tidak bisa dibilang kue kering, apalagi dibilang seperti biskuit. Dari segi bentuk, brownies juga tidak menarik, hanya seperti batu bata berwarna coklat saja, coba bandingkan dengan kue lainnya yang memiliki warna beraneka ragam, serta bentuk yang bermacam-macam. Tapi, toh kue terpopuler tetaplah brownies, bahkan walau asalnya dari Amerika Serikat, brownies sendiri malah menjadi oleh-oleh “khas Bandung”. Bingung, kan?
Berbicara terkait kesempurnaan, saya juga jadi teringat akan kutipan ini
“The perfect being, huh? There is no such thing as perfect in this world. That may sound cliché, but it’s the truth. The average person admires perfection and seeks to obtain it. But, what’s the point of achieving perfection? There is none. Nothing. Not a single thing. I loathe perfection! If something is perfect, then there is nothing left. There is no room for imagination. No place left for a person to gain additional knowledge or abilities. Do you know what that means? For scientists such as ourselves, perfection only brings despair. It is our job to create things more wonderful than anything before them, but never to obtain perfection,” Kurotsuchi Mayuri, ilmuwan dari Seireitei.
Nah, jadi kalau ada atasan yang menanyakan pekerjaan Anda yang tidak beres-beres itu, maka bilang saja bahwa ketidaksempurnaan itu akan melahirkan imajinasi baru, ruang untuk berproses, dan lainnya, niscaya Anda akan diajak “ngobrol” HR.