Awal tahun, bagian divisi pajak di kantor memberikan bukti potong pajak penghasilan (SPT), yang nantinya akan berguna untuk saya laporkan secara daring. Tentu saya bangga, tidak menyangka bisa menghasilkan uang cukup, dan dapat memberikan sedikit penghasilan saya kepada negara. Bagaimanapun juga sebagai cucu seorang veteran, tentu rasa nasionalis itu ada.
Dalam hidup, pajak memang tidak bisa dihindari, Kamu punya penghasilan yang mencapai nilai minimum, maka Kamu akan kena pajak, pun jika penghasilan Kamu tidak mencapai nilai minimum, Kamu akan terkena pajak saat belanja di minimarket misalnya. Saya bahkan pernah mendengar cerita menarik tentang pajak, yang dimana bos mafia Al Capone konon hanya bisa ditahan karena penggelapan pajak, bukan karena kejahatan lainnya.
Karena pajak memang sepenting itu, pemerintah membutuhkan dana untuk membangun negara, dan dana tersebut salah satunya didapatkan dari pajak. Banyak hal positif yang bisa dilakukan dengan duit pajak mulai dari memberikan fasilitas pendidikan kepada masyarakat kurang mampu, menghadirkan transportasi umum yang ramah untuk lansia, membangun jembatan penghubung di daerah terpencil, hingga fasilitas mewah pejabat beserta keluarga. Entah pajak ini, pajak itu, bea ini, atau bea itu, semua dibutuhkan untuk membangun negara.
Pun dengan potongan, semisal potongan penghasilan untuk program BPJS, dikutip dari Bisnis.com, untuk tahun 2024, rincian kontribusi BPJS Kesehatan dari perusahaan adalah 1% yang dibayar oleh karyawan, sementara 4% ditanggung oleh pihak perusahaan. Meskipun potongan untuk BPJS tidak terlalu besar, manfaatnya sangat terasa bagi saya. Saya tidak pernah berharap untuk sakit, tetapi jika sedang sial, setidaknya saya memiliki akses pelayanan kesehatan gratis, eh tidak gratis juga sih kan ada potongan dari penghasilan
Terbaru, dikutip dari tempo.co, Presiden telah mengumumkan bahwa pemerintah akan menerapkan kebijakan pemotongan gaji sebesar 3% untuk Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera), sebagaimana tercantum dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024 yang merupakan revisi dari PP Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat. Besaran iuran Tapera akan ditetapkan bagi para pekerja dari berbagai latar belakang, termasuk BUMN, BUMD, hingga perusahaan swasta.
Sampai dengan tulisan ini dibuat, sosialisasi terkait manfaat, dan implementasi dari Tapera ini memang masih jarang dilakukan, jadi masih banyak pertanyaan-pertanyaan publik yang harus dijawab. Apalagi jika berbicara tentang hunian, penghasilan dan harga yang dibutuhkan untuk memiliki hunian sangat timpang, saya tidak tahu bagaimana orang di Jakarta dan sekitarnya dapat memiliki rumah jika penghasilannya dibawah 10 juta. Pun, bisa membeli rumah, kemungkinan besar berada di lokasi yang jauh, di Lebak misalnya, itu juga harus dengan cicilan hingga puluhan tahun.
Membicarakan tentang hunian, tentu harus membicarakan tentang lokasi, dan bentuk hunian itu sendiri. Jika penghasilan dipotong lagi oleh Tapera, tapi pekerja tersebut tidak tahu bentuk dari rumah yang akan dihuni, atau bahkan pekerja tersebut tidak ingin memiliki rumah, terus apa yang terjadi?
Selain itu terkait pajak, dan potongan, banyak hal yang membuat publik ragu dan tidak suka akan kedua hal ini:
Krisis kepercayaan dengan penyelenggara negara
Negara Skandinavia sering sekali menjadi rujukan jika membicarakan pajak yang tinggi, yang dilupakan dari perbincangan ini adalah bagaimana para penyelenggara negara di Skandinavia bekerja. Apakah penyelenggara negara di Indonesia sama bagusnya seperti di Skandinavia?
Indeks persepsi korupsi yang dikeluarkan oleh Transparency International menempatkan Denmark, Finlandia, Norwegia, dan Swedia berada di urutan 6 besar, dengan skor mencapai 82 keatas, sementara Indonesia berada di peringkat 115 dengan skor 34. Pada indeks ini, semakin rendah skornya, maka kemungkinan korupsinya makin tinggi. Selain itu, dikutip dari merdeka.com, Indonesia Corruption Watch juga melihat bahwa korupsi di Indonesia selalu meningkat jumlahnya dari 2019 hingga 2023.
Angka korupsi yang tinggi ini tentu menghilangkan kepercayaan publik, bagaimana bisa para pekerja ikhlas mempercayakan uang yang dihasilkan dengan jerih payah kepada penyelenggara negara yang berpotensi korupsi? Disisi lain masyarakat Indonesia terkenal sebagai orang yang dermawan, tentu menolong orang yang kurang beruntung bukanlah suatu kesulitan, yang sulit adalah mempercayakan uang tersebut dikelola oleh pejabat yang ya gitulah.
Penghasilan udah kecil, jangan ditambah kecil lagi
Untuk kaum lajang, tentu upah minimum sudah cukup untuk menghidupi, apalagi jika masih numpang di rumah orang tua, upah yang dihasilkan hanya digunakan untuk kebutuhan pribadi. Tapi, jika sudah berkeluarga? Upah minimum nyatanya memang sangat menantang.
Tunggu, jangan dulu menghujat dengan hidup boros, atau kurang bersyukur. Bayangkan bagaimana orang bisa hidup di Jakarta dengan penghasilan kurang dari 6 juta, dengan kondisi istri yang tidak bisa bekerja karena sedang hamil besar. Bagi saya ini adalah kondisi krusial, berkurang saja pemasukan beberapa ratus ribu sudah menjadi hal yang memusingkan.
Ini baru membicarakan Jakarta, bagaimana dengan pekerja di Sragen misalnya. Dengan upah yang sangat kecil, tapi harga susu formula untuk bayi semuanya sama di berbagai daerah.
Kebutuhan tersier mahal
Ahmad adalah seorang mahasiswa sederhana yang berusaha untuk dapat menyelesaikan kebutuhan tersiernya (dibaca: studi pendidikan tinggi). Orang tua Ahmad memang dapat membiayai kuliah, hanya saja di perantauan juga butuh biaya hidup. Sial bagi Ahmad, ia gagal mendapatkan berbagai bantuan keuangan yang dapat meringankan biaya kuliahnya.
Sebab Ahmad adalah warga negara yang kuat, dari bangsa yang kuat juga, ia mengusahakan untuk dapat penghasilan dari kerja serabutan di luar jam kuliah, mulai dari ojek daring, barista, atau apa saja Ahmad lakukan untuk dapat tambahan biaya kuliah.
Hebat bagi Ahmad, ia berhasil menyelesaikan studi sarjananya, hanya saja sebab pengalaman kerja yang tidak memenuhi ia tidak bisa langsung menjadi pegawai profesional, Ahmad harus magang. Tidak seperti cucu dari Syahrul Yasin Limpo, Ahmad tidak bisa mendapatkan penghasilan langsung 4 juta, apalagi 10 juta. Ahmad harus kembali berkutat dengan uang yang pas-pasan.
Ahmad memang warga negara yang kuat, selepas kerja magang, ia berhasil menjadi pegawai profesional dengan gaji lumayan, ia bisa merasakan buah dari kerjanya, selain untuk kehidupan sehari-hari, gajinya ia sisihkan untuk keluarga, selain itu untuk potongan ini, itu, dan pajak. Walau saat sulit berkuliah Ahmad tidak mendapatkan bantuan yang layak, ketika hidup membaik, selepas sukses melaksanakan kebutuhan tersier, dan menjadi sarjana, Ahmad ikhlas untuk bayar pajak.
Ahmad diatas hanyalah cerita fiksi saja, semoga ia tokoh yang tidak pernah ada di dunia ini, tapi pajak adalah nyata, pajak memang harus ada untuk sarana implementasi membangun negara. Potongan-potongan juga harus menjadi sarana untuk menjamin fasilitas para pekerja. Lantas bagaimana cara mengimplementasikannya untuk mencapai visi yang sesuai? Ya ndak tau, kok tanya saya.