Prinsip Memilih Pemimpin dan Nasi Goreng

M Ikhsan
3 min readJun 14, 2024

--

Saya punya penjual nasi goreng langganan, sebagai penggemar berat nasi goreng, mungkin seminggu bisa tiga kali saya membelanjakan uang saya untuk menikmati nasi goreng itu. Bagi saya nasi goreng yang disajikan sesuai dengan lidah saya, gurihnya pas, pedesnya pun tidak menyiksa. Taburan proteinnya pun tidak pelit, suiran ayam yang berlimpah, ati, telur orek, kalau masih kurang terkadang saya meminta tambahan telur dadar. Soal harga, tidak dipatok terlalu tinggi, masih standar nasi goreng kaki lima.

Ilustrasi nasi goreng, sumber gambar: Freepik

Hingga suatu malam ketika pulang nongkrong, sial, hujan tiba-tiba datang. Mau tidak mau saya harus menepikan motor untuk meneduh. Jarak dari tempat saya menepi ke rumah sebenarnya tidak terlalu jauh, hanya saja malas betul kalau harus kehujanan, ya sudah bersabar saja toh tidak ada yang harus diburu-buru.

Tidak jauh dari tempat menepi, saya melihat ada penjual nasi goreng. Makan nasi goreng sambil menunggu hujan bukanlah ide buruk, saya memesan satu porsi nasi goreng. Ketika itu saya merasa bahwa nasi goreng yang disajikan ini lebih baik daripada nasi goreng di tempat langganan saya. Menerima fakta ini saya tentu tidak langsung percaya, mungkin saja ketika itu saya sudah sangat kelaparan, juga dingin dari hujan membuat rasa nasi goreng tersebut menjadi luar biasa, empat hari kemudian saya mencoba untuk mendatangi pedagang nasi goreng tersebut, dan membelinya.

Harganya sedikit lebih mahal, tapi rasanya lebih baik. Pengalaman saya memakan nasi goreng ini menjadi pengalaman yang menyenangkan. Ini juga membuat saya berpindah tempat langganan.

Sebentar lagi kita akan menghadapi Pilkada serentak, saat ini para politisi dan partai tentu sedang menimbang akan berkompetisi dimana, dan bersama siapa. Tujuannya sudah pasti menjadi pemenang, ngapain juga berkompetisi kalau hanya untuk kalah, pemain sepakbola antar kampung saja bisa berantem hanya karena tidak terima akan kekalahan.

Sebagai politisi, Pak Anies pun juga tentu sedang menimbang. Pada saat tulisan ini terbit banyak berita yang mengatakan Pak Anies akan berpasangan dengan Mas Kaesang untuk menjadi Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur Jakarta.

Walau tidak memiliki KTP Jakarta, tapi ada sesuatu yang ingin saya sampaikan. Ketika pemilihan Presiden saya memutuskan untuk memilih Pak Anies, sebab saya rasa gagasan yang dibawa oleh Pak Anies ketika itu adalah gagasan terbaik dibandingkan lawannya saat itu.

Diwaktu luang saya membaca visi, misi, dan rencana program kerja dari Pak Anies. Pun, nilai yang diusung pasangan Pak Anies, dan Pak Muhaimin adalah nilai yang sesuai dengan nilai yang saya yakini. Mengusung nilai perubahan, dan mementingkan etika dalam berkuasa, ah keren sekali itu. Apalagi ketika itu ada salah satu pasangan yang bisa maju ke tahap ini dengan berbagai kontroversi, mulai dari kontroversi di konstitusi, hingga praktik dinasti. Mantap saya memilih Pak Anies.

Memang semua warga negara memiliki hak yang sama, tapi dalam kompetisi ada regulasi yang harus dihormati, nah bagaimana kalau regulasi tersebut dirasa tidak sesuai? Semisal Darwin Nunez, penyerang yang tidak tajam saja tetap patuh terhadap regulasi perihal tinggi dan lebar gawang, apa pernah Darwin Nunez meminta FIFA untuk menambah tinggi dan lebar gawang agar ia bisa mencetak gol?

Apa yang saya terapkan dalam memilih pemimpin adalah tidak seharusnya memilih pemimpin berdasarkan atas kesukaan akan kepribadiannya saja, tapi perhatikan nilai dan gagasan yang dibawanya ketika itu. Apalagi menjadikan sosok politisi sebagai kultus, hal ini sudah pasti tidak bagi saya.

Bahwasanya jika tidak cocok dengan politisi tersebut, atau semisal pernah mengecewakan, ya tinggalkan. Kurang lebih mirip dengan prinsip saya dalam memilih nasi goreng, jika saya menemukan penjual nasi goreng yang lebih baik, maka penjual nasi goreng sebelumnya akan saya tinggalkan.

--

--