“Kalau begini terus mah kita gak akan mungkin punya rumah,” kata teman saya dengan pesimisnya.
“Ah, bisa kok punya rumah. Asalkan punya keyakinan,” jawab saya.
Teman saya adalah pribadi yang optimis dalam menjalani hidup, hanya saja jika berbicara tentang kemungkinan memiliki rumah, ia menjadi orang yang begitu pesimis.
“Makin kesini San, rumah adalah barang yang tak terjangkau bagi gue, semantara penghasilan gue ya segitu-segitu aja. Mau pake cara apapun gak akan mungkin punya rumah!”
Saya diam tidak tahu juga mau menjawab apa. Rumah memang menjadi suatu benda yang diinginkan banyak orang, kawan-kawan saya banyak yang berkeinginan untuk memiliki rumah sendiri suatu hari nanti. Impian memiliki rumah sudah seperti impian untuk naik haji.
Alasan untuk memiliki rumah pun serupa, biasanya pasti akan menjawab ingin menghabiskan hari tua dengan tenang bersama keluarga, tidak mau ngontrak. Saya kurang setuju sebenarnya, emang kalau ngontrak hidup jadi ga tenang ya? Tapi, ya sudahlah namanya orang kan berbeda.
Salah seorang kenalan saya dengan kondisi finansial yang lebih baik sudah memutuskan untuk membeli rumah, dengan sistem “Kredit Perumahan Rakyat,” ia harus mencicil rumah tersebut hingga belasan tahun. Ketika saya bertanya di mana lokasi rumahnya, ia menjawab nama suatu daerah yang saya baru dengar, bahkan sekarang saya lupa nama tempatnya.
Kenalan saya ingin menyewakan rumahnya tersebut, nah jika tidak ada yang mau menyewanya maka ia akan tinggal di rumah itu, walau harus bersusah payah untuk aktivitas ke kantor.
Kesulitan ini tentu saja membuat saya harus bekerja lebih keras, banyak berdoa, serta bersabar akan mendapatkan hasil yang diinginkan.
Walaupun hidup bukan seperti cerita di film Disney, yang mana rakyat biasa yang tinggal di daerah dengan raja bijak, bisa memiliki kehidupan yang baik dengan bekerja keras. Di bumi ini lebih banyak raja atau pemimpin yang tidak paham akan masalah.
Masalah perumahan adalah harga yang tinggi, dan pendapatan yang rendah. Banyak faktor yang menyebabkan ini terjadi mulai dari terbatasnya lokasi Tanah, serta terus berkembangnya jumlah populasi.
Walau luas tanah terbatas, tapi banyak juga orang yang masih menimbun rumah, atau tanah sebab harganya yang nanti diyakini akan naik. Hal yang seharusnya menjadi kebutuhan malah menjadi instrumen investasi.
Selain itu pilihan hunian vertikal seperti apartemen masih menjadi pilihan kedua. Sial, di Jakarta sendiri apartement juga masih dibandrol dengan harga yang tinggi.
Sedangkan solusi yang ditawarkan adalah menelan pil pahit bersama dengan bayar iuran untuk hal yang tidak dipahami oleh pembayar iuran tersebut. Terus apa yang bisa dilakukan saat ini, marah dan menjadi stres bukan keputusan bijak, tentu saja bersabar, dan berdoa adalah keputusan terbaik.
Menjadi religius saat ini adalah keuntungan tersendiri, di kondisi seperti ini banyak cara untuk memanen pahala. Apalagi ikhlas membantu sesama adalah ciri khas warga yang suka gotong royong. Semisal warga yang bekerja keras gotong royong untuk mensejahterakan pejabatnya. Mulia sekali, Kan?
Selalu berbuat baik kepada siapapun termasuk pejabat negara, rajin berdoa mengingat Tuhan, ikhlas dalam gotong royong, tentu akan menambah pundi-pundi pahala yang penting di hari pembalasan nanti.
“Walau kita tidak bisa mendapatkan rumah sekarang, tapi nanti kita bisa mendapatkannya, di akhirat,” saya menutup obrolan.