Why Do You Read This Article? // Kenapa Anda Baca Artikel ini?

M Ikhsan
4 min readJun 6, 2024

--

This article contains two languages: English and Bahasa Indonesia. I’ve decided to combine them into one article because it’s not too long. If you want to read the Bahasa Indonesia version, please scroll down until you find it.

After graduating from university at the end of 2019, I didn’t have a job for more than a year. Covid-19 came, people lost their jobs, many businesses closed, and I also felt the impact. At the time, I only stayed at home, watched Netflix, read some manga, and did nothing.

I tried a lot of new things to make myself feel excited about life; one of those things is writing. I started writing non-fiction about various topics, submitting to several User Generated Content media such as Terminal Mojok, Qureta, Fandom.id, and Medium. I received a couple of comments, sometimes positive responses, and negative feedback, but that’s fine.

I write about anything I know: movie reviews, current affairs, politics, football, and many more. Not only non-fiction, but I also tried at fiction writing, submitting most of my short stories to Qureta. Sadly, Qureta is permanently out of business now. I also sent two of my short stories to the local newspaper through a friend, and they got published.

On Medium, one day I tried writing in English. I didn’t do it to gain more readers but to practice my English language skills, especially in writing. Even with my limited grammar skills, I continued writing in English.

Because I write in English, one day one of my articles got a lot of readers. I can’t say it went viral, but the analytics numbers shocked me. I’m not going to lie; I was happy with those numbers. I tried writing in English again, but I couldn’t replicate that success. It made me believe in beginner’s luck, the phenomenon where inexperienced people find success early on.

Even after getting a job, I continued to write, although not as much as when I was jobless. One day, I received a phone call from a company to become a research participant or human subject. Their UX researcher asked me to document my writing process, from finding an idea to submitting an article.

Right now, I find myself only complaining in my articles — complaining about traffic, low wages, and various systems. Not gonna lie, I’m genuinely happy when people take the time to read my grievances.

I’m also curious about why you read my article. Is it because of Medium’s algorithms, a clickbait title, a recommendation from someone, or something else? I’m also curious about what keeps you reading until this point. Is it because you have nothing else to do, or something else? Please share in the comment section; I really want to know.

Ilustrasi orang menulis. Sumber: Freepik

Setelah lulus kuliah pada akhir 2019, saya menganggur selama lebih dari setahun. Penyebabnya tentu covid-19, orang saja bisa kehilangan pekerjaan mereka, banyak bisnis tutup, tentu saya juga kena dampaknya. Saat itu, saya hanya tinggal di rumah, menonton Netflix, baca manga, dan buang-buang waktu.

Saya mencoba banyak hal baru untuk membuat diri saya merasa bahagia di rumah; salah satunya adalah menulis. Saya mulai menulis non-fiksi tentang berbagai topik, mengirimkannya ke beberapa media User Generated Content seperti Terminal Mojok, Qureta, Fandom.id, dan Medium. Saya menerima beberapa komentar, terkadang tanggapan positif, dan kadang juga negatif.

Saya menulis berbagai topik yang saya tahu: mengulas film, isu terkini, politik, sepakbola dan banyak lagi. Tidak hanya non-fiksi, tapi saya juga mencoba menulis fiksi, mengirimkan sebagian besar cerita pendek saya ke Qureta. Sialnya, Qureta sekarang sudah bubar. Saya juga mengirim dua cerita pendek saya ke surat kabar lokal melalui seorang teman, dan cerpen saya dapat diterbitkan.

Di Medium, suatu hari saya mencoba menulis dalam bahasa Inggris. Saya tidak melakukannya untuk mendapatkan lebih banyak pembaca, tapi untuk latihan keterampilan menulis bahasa Inggris. Bahkan dengan tata bahasa terbatas saya, saya terus menulis dalam bahasa Inggris, tanpa peduli, toh itu juga cuma di akun pribadi saya saja.

Karena saya menulis dalam bahasa Inggris, suatu hari salah satu artikel saya mendapat banyak pembaca. Saya tidak bisa mengatakan bahwa artikel itu viral, tapi angka-angka yang ditunjukan pada fitur analisis itu mengejutkan saya. Jujur saja saya senang dengan angka-angka tersebut. Hal ini membuat saya mencoba menulis lagi dalam bahasa Inggris, tapi saya tidak bisa mengulangi keberuntungan itu. Ini membuat saya percaya pada istilah beginner’s luck, fenomena di mana orang yang tidak berpengalaman mendapat keberuntungan pada awalnya.

Setelah menjadi pegawai, saya terus menulis, meskipun tidak sesering saat saya nganggur. Suatu hari, saya menerima telepon dari sebuah perusahaan teknologi untuk menjadi peserta riset atau subjek manusia. Peneliti UX mereka meminta saya untuk mendokumentasikan proses menulis saya, mulai dari menemukan ide hingga mengirimkan artikel.

Saat ini, saya hanya merasa berkeluh kesah dalam artikel-artikel saya — mengeluh tentang lalu lintas, upah rendah, dan berbagai sistem. Jujur saja, saya benar-benar menikmati ketika orang meluangkan waktu untuk membaca keluhan saya, apalagi ketika mendapatkan tepukan, dan komentar.

Saya juga penasaran mengapa Anda membaca artikel saya. Apakah itu karena algoritma Medium, judul yang clickbait, rekomendasi dari seseorang, atau yang lainnya? Saya juga penasaran apa yang membuat Anda terus membaca sampai saat ini. Apakah itu karena Anda tidak punya hal lain untuk dilakukan, atau yang lainnya? Tolong share di kolom komen

--

--